top 10 liga spanyol terbaru, update hasil dan klasemen, top skor, WAGs, wonderkid, jersey la liga, barcelona, real madrid

Profil Klub Liga Spanyol: Athletic Bilbao, Data & Fakta Klub Anak Kampung Asal Basque

Keberhasilan Athletic Bilbao meraih Piala Super Spanyol 2015, gelar pertama mereka dalam rentang 31 tahun sejak 1984, membuat banyak yang bertanya tentang profil klub, data dan fakta klub berjuluk Rojiblancos (Merah-Putih) ini. Seolah mengabaikan fakta jika Athletic, bersama Barcelona dan Real Madrid, adalah tiga klub dengan gelar Liga Spanyol terbanyak sepanjang sejarah, dan belum pernah terdegradasi sejak pertama kali Primera Division digulirkan.

Bagaimana mungkin sebuah tim dengan paradigma hanya membeli pemain berdarah Basque, masih bisa bertahan hidup di kompetisi elite Eropa di abad XXI? Apalagi tim yang mereka disingkirkan oleh mereka adalah Barcelona, yang baru saja meraih empat gelar sepanjang 2015. Catatan perjalanan Athletic Bilbao ini ditulis pada awal 2013, dan tercantum pula dalam blog saya yang lain, Fitra Firdaus Aden. Judul asli catatan ini adalah 'Athletic Bilbao, Klub Anak Kampung'.

 
“Kami juara berkat 11 pemuda kampung,”
Enrique Guzman, presiden Athletic Bilbao
saat memenangi Copa del Generalisimo 1958 atas Real Madrid

Sejarah panjang Basque hanya mengenal keberanian. Para lelaki perkasa yang terlahir di tanah ini telah berperang dengan semua musuh yang hendak menjarah. Romawi, Viking, hingga Jenderal Franco. Tak ada satupun yang bisa memadamkan api keberanian itu. Dan, keberanian pula yang tergambar nyata dari Athletic Bilbao, klub yang masih ngotot hanya menurunkan pemain berdarah Basque di era kala sepakbola identik dengan uang dan gelar semata.

Klub Paling Bebal Abad XXI
Dekade 2000-an dalam sejarah sepakbola akan dikenang sebagai dekade ketika uang bisa mengubah sebuah klub menjadi jawara. Para pebisnis berbondong-bondong membeli sebuah klub, lalu menggelontorkan dana tanpa batas untuk memborong gelar demi gelar.

Semisal, Roman Abramovich yang membeli Chelsea pada musim panas 2003. Tahun pertama saja, juragan minyak itu mengeluarkan 121 juta poundsterling untuk mendatangkan para ‘mercenary’ (tentara bayaran/ mata duitan), demikian kata orang-orang sinis.

Demikian pula yang dilakukan oleh Syeikh Mansour yang menggenggam Manchester City sejak September 2009. Dalam dua tahun awal kekuasaan sang syeikh, lebih dari 200 juta poundsterling dihabiskan untuk mengejar pemain. Hasilnya, The Citizens yang sempat berkutat di jurang degradasi, bisa menjadi kampiun Liga Inggris hanya tiga tahun kemudian.

Syeikh Al-Thani yang mengambilalih Malaga dan Qatar Investment Authority (QIA) yang menyuntik PSG juga termasuk dalam kategori ini. Mereka yakin, para pemain yang datang dari berbagai belahan dunia, yang tidak terlalu mengetahui latar belakang klub, dengan bayaran selangit, dapat melakukan segalanya.

Adalah sebuah keunikan, kalau tidak bisa disebut kebebalan, di sebuah klub bernama Athletic Bilbao, terjadi kenyataan yang bertolak belakang. Mereka masih mengandalkan para pemain yang berlatar belakang Basque.

Bahkan ketika klub-klub tetangga dekat sekaligus rival sengit Athletic, seperti Real Sociedad dan Osasuna, sudah memainkan sederetan pemain internasional. Hasilnya, pada musim panas 2009, ketika Cristiano Ronaldo memecahkan rekor sebagai pemain belian termahal dengan harga 80 juta poundsterling (dari Manchester United ke Real Madrid), rekor berikut masih berlaku untuk Athletic: pembelian termahal klub ini adalah 10 juta poundsterling, terjadi atas nama Roberto Rios dari Real Betis; dan hal tersebut terjadi pada tahun 1997! Ya, untuk juara Liga Spanyol delapan kali, uang bukanlah segalanya.

Anti Tentara Bayaran
Musim panas 2012, tiga tahun setelah hingar bingar Cristiano Ronaldo, kegelisahan tengah menimpa penyerang lain. Dialah Fernando Llorente yang memasuki tahun kedelapan berseragam Athletic Bilbao. Ia berada di simpang jalan. Llorente tergiur bermain di Liga Champions. Untuk seorang pria jangkung jago duel udara yang hingga kala itu sudah mencetak 100 gol bagi Athletic, cita-cita ini adalah hal wajar. Athletic terus terjebak dogma ‘hanya memainkan pria berdarah Basque’ sementara zaman hanya mau mengenal uang. Mustahil bagi klub Bilbao tampil di kompetisi terbesar antar klub Eropa. Solusi akhir: pindah ketika kontraknya berakhir pada 30 Juni 2013.

Seorang pemain berpindah klub untuk meraih gelar adalah hal lumrah. Gabriel Batistuta, pahlawan Fiorentina, klub Italia, pernah melakukannya pada tahun 2000. Ia berseragam AS Roma dan mendapatkan scudetto di klub ibukota tersebut. Tapi, dunia Athletic bukanlah dunia klub lain.

Anda berlaga bukan untuk dibayar. Kostum yang bersimbah keringat, adalah simbol nilai-nilai hidup rakyat Basque: keberanian, kebanggan, dan ikatan kuat. Siapa pun yang ‘melecehkan’ hal ini harus menerima hukuman. Sepanjang musim 2012-2013, Fernando Llorente pun menghabiskan masa-masa mencekam. Ia duduk di bangku cadangan, kalah bersaing dari penyerang lain, Aritz Aduriz. Juga, menerima ejekan “Llorente antek Spanyol! Mati saja kau” bahkan ketika latihan pramusim baru saja dimulai.

Ya, di tanah Basque, segala bentuk pengkhianatan, akan dilabeli gelar ‘antek Spanyol’. Mereka yang terlahir di sini, belum lupa sejarah kelam yang dilakukan oleh Jenderal Franco, diktator yang pernah memaksakan agenda melenyapkan segala hal yang tidak pro kesatuan Spanyol.

Jangankan hengkang dari klub. Jika para pemain Athletic terlihat loyo di lapangan; tak menampilkan kegagahan yang merupakan ciri khas pria Basque, siap-siaplah mendengar yel-yel “No son leones, son maricones" alias “(Kamu) bukan singa, tapi seorang gay”. Ada sebuah pepatah, bahwa seorang pria Basque tidak mengenal kata “tidak mungkin”.

Dan ini berlaku pada setiap napas klub. Entah yang dilawan adalah dua raja seperti Barcelona dan Real Madrid, entah klub tengah dalam krisis keuangan akut, penampilan prajurit Athletic haruslah sedahsyat kala nenek moyang mereka bertempur mempertahankan tanah ini dari invasi para ‘penjajah’.

Singa-Singa Perkasa Pelinding San Mames
Loyalitas. Inilah yang harus dijunjung sampai mati oleh pemain Athletic Bilbao. Mereka ditakdirkan untuk berlaga di stadion San Mames yang memiliki julukan keramat ‘La Catedral’. Dekat tempat yang mampu menampung 40000 penonton ini, berdirilah gereja San Mames yang konon menyimpan relik Santo Mammes.
Dia adalah santo yang menjadi martir pada abad III Masehi kala masa kekuasaan Romawi. Kesucian hatinya, membuat penguasa sekalipun tak mampu memberikan hukuman mati untuk sang santo. Ia pernah dilemparkan ke gelanggang berhadapan dengan para singa; namun hewan-hewan buas ini tak menjadikannya santapan. Justru, tunduk dan menjadi pelindung Santo Mammes.

Demikian pula yang ditanamkan untuk prajurit Athletic Bilbao. Mereka berlaga di lapangan untuk menjadi singa ---julukan mereka, Los Leones--- demi menjaga kesucian Katedral San Mames dari serbuan klub-klub yang diutus untuk menjajah stadion ini, mulai dari Real Madrid, Barcelona, hingga dua tetangga sebelah, Real Sociedad dan Osasuna.

Loyalitas pulalah yang membuat kebijakan Athletic yang dibangun sejak lama, tak jua luntur termakan zaman. Memang, klub ini didirikan oleh campur tangan orang Inggris. Memang pula, dalam perjalanan awal, ada pemain-pemain asal negeri Ratu Elisabeth yang berlaga untuk Athletic. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, sejarah ini terlupakan. Berganti dengan jargon ‘hanya memainkan mereka yang berdarah Basque’.
Entah itu pemain jebolan akademi sendiri, mereka yang telah menikmati sepakbola di tanah Basque, atau mereka yang masih keturunan Basque meski berasal dari negeri yang jauh.

Maka, tak aneh jika nama Jonas Ramalho muncul. Dia adalah pria kulit hitam pertama yang tampil untuk Athletic. Ayahnya orang Angola, sementara ibunya berdarah Basque. Wajar pula bila seorang Bixente Lizarazu, bek kiri Prancis yang juara di Piala Dunia 1998, bisa bermain di Athletic karena memiliki garis darah Basque. Nasib yang sama juga terjadi pada seorang Fernando Amorebieta yang membela Venezuela. Seiring perjalanan waktu, banyak klub yang mengalah pada kenyataan dan uang, tapi Athletic Bilbao seperti hidup di dunia mereka sendiri dan menerjang apa pun yang terjadi dengan ‘darah Basque’ yang bergolak di dada.

San Mames memang tidak selamanya bertahan. Seiring dengan perjalanan waktu, klub merasa perlu membuka stadion baru dengan daya tampung lebih raksasa. ‘Terkuburlah’ tempat yang pernah dibuka pada Agustus 1913 tersebut per musim 2012-2013. Terkubur pula kenyataan sebagai stadion tertua di Spanyol.
Dalam rentang 100 tahun, San Mames menjadi saksi deretan laga para pejuang Athletic. Dari yang termanis, hingga yang paling pahit. Di tempat inilah mereka memastikan gelar juara La Liga pertama untuk klub pada musim 1929-30, ketika membekap Barcelona 4-3. San Mames juga memantulkan sorakan bergemuruh kala Agustin Gainza, salah satu legenda klub, mencetak 8 gol untuk mencukur Celta Vigo 12-1 di Copa del Generalisimo 1947.

Tapi, di sini pula Los Leones terkubur ketika dibantai Osasuna 1-8 di Liga Spanyol musim 1958/59. Dan, salah satu laga paling menusuk, adalah kala Athletic menang 2-1 dari Juventus di final Piala UEFA 1977. Mereka berhasil menekuk Nyonya Tua asal Italia. Sayang, singa-singa San Mames tetap gagal memegang trofi karena kalah agresivitas gol tandang. Juventus menang 1-0 di leg pertama di Comunale, dan itu mematahkan satu-satunya kesempatan Athletic menjadi kampiun Eropa di stadion sendiri; dalam rentang 100 tahun.

San Mames akhirnya diistirahatkan oleh zaman. Berganti dengan San Mames Barria sejak musim 2013-2014 dengan kapasitas 55.000 penonto. Namanya tetap sama, dan pria-pria berahang kokoh dan bertubuh tegap khas Basque akan tetap melindungi San Mames baru dari invasi musuh. Madu dan racun pasti tertuang di stadion baru ini. Apalagi dengan kebijakan hanya memakai darah Basque yang terus bertahan. Athletic tak perlu khawatir. Mereka memiliki salah satu fans sepakbola terbaik yang pernah menghirup udara dunia.

Perahu Kecil Yang Menghancurkan Kota Industri

Loyalitas pemain dan klub telah terbukti lewat aliran waktu. Loyalitas lain yang jauh berlipat lebih hebat, datang dari fans. Memang, seperti klub-klub besar di daratan Eropa lain, Athletic punya sejarah untuk dibanggakan. Mereka adalah salah satu dari tiga klub La Liga yang belum pernah mencicipi Segunda Division, di samping Barcelona dan Real Madrid. Athletic juga pernah mencatatkan kemenangan terbesar ketika menggebuk Barcelona 12-1. Pemain besar pun tak terhitung menghuni klub ini.

Setiap tahun, pencetak gol terbanyak La Liga akan mendapatkan gelar pichichi. Gelar ini sendiri terinspirasi dari seorang pemain bernama sama, Pichichi alias Rafael Moreno Aranzadi. Dialah pria yang mengantarkan empat gelar Copa del Rey untuk Athletic. Ada pula Telmo Zarra yang memegang rekor pencetak gol terbanyak dalam semusim di Liga Spanyol (40 gol) sebelum datangnya era Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo. Seorang Andoni Zubizarreta, salah satu kiper terbaik Spanyol sepanjang masa, juga pernah mencicipi manisnya San Mames. Demikian seterusnya, hingga kemudian datang generasi emas sejak awal dekade 2010-an seperti Markel Susaeta, Iker Muniain, Mikel San Jose, dan Jon Artenetxe.

Namun, kebanggaan fans lebih daripada sekadar gelar dan uang. Trofi terakhir didapatkan pada musim 1983-84. Ketika itu Los Leones meraih Liga Spanyol dan Copa del Rey sekaligus. Selebihnya, sudah 30 tahun lebih fans mengenal sakitnya tumbang di partai puncak, atau dibantai habis-habisan oleh klub-klub dengan modal uang dan pemain besar. Bahkan dalam dua musim beruntun (2005/06 dan 2006/07) Los Leones sempat berjuang lolos dari zona degradasi hingga pekan terakhir kompetisi. Hal yang membuat fans menyebut masa-masa suram ini sebagai ‘El Bienio Negro’ (Dua tahun hitam).

Artinya, masalah pulang dari San Mames dengan kekecewaan menggumpal, bukan hal baru. Tapi, jangan lupakan. Ini tanah Basque. Di tempat ini, rasa solidaritas dan kepercayaan diri mengalahkan segalanya. Kebanggaan menyaksikan Athletic, membuat fans tak goyah. Dunia bagi mereka telah tergambar, dunia menyaksikan singa-singa perkasa bertempur; dan itu lebih dari sekadar cukup.

Masalah fanatisme, tak perlu dipertanyakan lagi. Di berbagai tempat di Bilbao, masih terpajang foto kepulangan para pahlawan Athletic ketika berhasil menggenggam trofi terakhir mereka, Copa del Rey 1983-84. Foto tersebut demikian heroik, singa-singa penjaga San Mames harus menjalani partai final di Santiago Bernabeu, Madrid, menghadapi Barcelona. Gol tunggal Endika Guarrotxena menyelesaikan laga 100 ribu penonton itu. Kembali ke kampung halaman, para pahlawan menempuh perjalanan ‘tak biasa’.

Dengan menumpang perahu melintas aliran sungai, mereka disambut sebagai raja. Mereka bagaikan ‘meninju’ pemandangan di belakang perahu tersebut, gedung-gedung menjulang khas dunia industri. Foto hitam-putih ini juga yang memercikkan api heroism pasukan Basque di masa-masa mendatang. Dengan segala konsekuensi memakai darah Basque, mereka bertempur melawang sepakbola yang dibangun dari uang!

Air Mata Si Kecil Ibai
Kenangan masa silam yang masih tersimpan rapi itu, hanyalah setitik dari sekian bukti loyalitas fans terhadap Athletic Bilbao. Tak peduli tua atau muda, segalanya akan dipertaruhkan. Termasuk seorang Ibai, bocah berusia delapan tahun yang ikurrina-nya menerobos batas stadion megah bernama Vicente Calderon.

25 Mei 2012, malam semakin larut. Athletic Bilbao mengalami salah satu musim paling luar biasa dalam 20 tahun terakhir. menembus dua final dalam dua ajang berbeda. Europa League dan Copa del Rey. Setelah beberapa hari sebelumnya klub ini dikandaskan Atletico Madrid 3-0 di final Europa League, puluhan ribu fans Athletic yang berbondong ke Madrid ---termasuk Ibai dan sang ayah--- berharap takdir mau berpihak pada tim ini.

Los Leones akan berhadapan dengan Barcelona, finalis tahun lalu. Di atas kertas, Barca yang memiliki Lionel Messi tampak mudah mencukur pasukan Marcelo Bielsa. Tapi, Ibai kecil, yang ditempa gagahnya kehidupan orang Basque, tak surut. Dibawanya serta ikurrina, bendera Basque sebagai bukti rasa cinta untuk klub. Bukan ikurrina biasa. Sama sekali bukan.

Ikurrina milik Ibai ini sudah melintas negara; menjadi saksi kala perjuangan gagah berani Athletic mampu menekuk klub setangguh Manchester United 2-3 di Old Trafford pada tahun yang sama. Hati kecil Ibai pasti berharap, ikurrina ini akan berkibar lagi di Vicente Calderon.

Hati Ibai berdebar ketika peluit tanda laga dimulai, berbunyi. Denyut jantungnya berdetak lebih cepat ketika timnya mampu berbagi penguasaan bola dengan Barcelona. Tapi mimpi, masih tetaplah mimpi. Foto legendaris para pahlawan yang menembus sungai pada tahun 1984, masih merupakan kehebatan Athletic yang terakhir. Pedro Rodriguez dan Lionel Messi bergantian menjebol gawang Gorka Iraizoz untuk menciptakan skor 3-0.

Air mata mengalir, itu pasti. Empat tahun sebelumnya, tahun 2009, ketika Ibai belum mengenal sepakbola, klub yang sama pula yang menaklukkan Bilbao di ajang serupa. Apa pun yang terjadi, kepala harus tegak. Tak ada waktu untuk berkubang dalam kepedihan.

Carles Puyol, kapten Barcelona, tahu apa yang dilakukan untuk menghormati fans lawan. Meskipun ia tidak bermain karena cedera, Puyol masuk ke lapangan, membawa bendera Catalan, beserta ikurrina … milik Ibai! Anak delapan tahun memandang bangga kepada sang kapten yang menghibur sekian pemberani yang
hadir di Madrid.

Namun, cerita belum usai. Puyol tak mengetahui ikurrina itu milik siapa. Ia mengambil begitu saja dalam keriuhan. Sebaliknya, Ibai mulai menangis karena ikurrinanya tak jua kembali. Pertandingan sudah usai, dan semua orang akan pulang.

Sang ayah, seperti kebanyakan pria Basque, percaya tak ada yang tak mungkin. Ia menerjang penjagaan polisi berkuda. Tujuannya cuma satu, mendapatkan ikurrina sang anak, apa pun yang terjadi. Didekatinya bus pemain Athletic yang belum beranjak dari stadion. Dikirimkannya pesan kepada sopir bus. Memahami maksud ayah Ibai, sang sopir pun berkontak dengan sopir bus pemain Barcelona untuk kemudian mengirimkan sinyal kepada Puyol.

Melewati barikade polisi, akhirnya Ibai dan ayahnya bertemu Puyol. Hati ibai masih berkecamuk. Apakah Puyol masih membawa ikurrina miliknya? Tidakkah bendera ini ditinggalkan di loker, atau diberikan kepada fans Bilbao yang lain? Suasana begitu kacau, semua bisa terjadi.

Begitu sang kapten turun dari bus dengan ikurrina di tangan, wajah Ibai berubah ceria. Itu ikurrinanya! Ikurrina paling berharga yang membawanya melintas jarak, demi Athletic! Puyol, mengetahui perjuangan sang anak demi mendapatkan benderanya kembali, mencium dan memeluk Ibai.

Mata Ibai masih berkaca-kaca ketika para wartawan mengerumuninya. Namun, senyumnya telah terkembang. Anak kecil berusia delapan tahun, tak mengeluarkan kata mutiara sepatah pun. Ia dan sang ayah hanya bergerak, dan terus bergerak, demi Athletic, demi mimpi, dengan segenap keberanian yang meledak.

Demi Sebuah Bendera
Kisah Ibai, adalah bukti keberanian fans Los Leones menerjang ‘api’. Tidak hanya berhenti di sana. Beberapa hari sebelumnya, ada perjuangan yang barangkali lebih heroik. Menjelang fnal Europa League, 400 fans Athletic tersesat di Budapest, Hungaria. Mereka terbengong ketika menyaksikan, tidak ada nama Arena Nationala dalam peta. Berkutat-kutat di kota tersebut, kaki mereka terlalu lelah sebelum menyadari, mereka keliru nama. Laga puncak turnamen yang dulu bernama Piala UEFA ini, berlangsung di Bukarest, Rumania. 500 mil adalah jarak dua kota tersebut, tapi 500 mil bukanlah apa-apa bagi para remaja yang sempat mengundang ‘gelak tawa’ masyarakat Spanyol ini.

Masih ada sekian cerita tentang salah satu suporter paling ‘eksotis’ di Eropa. Dari kisah-kisah lembut di atas, kita bergerak ke kisah yang lebih keras. Semisal, fans Los Leones yang mengencingi suporter Anderlecht pada tahun 2010. Atau, publik San Mames yang tak segan menampilkan suara mereka untuk meminta Israel angkat kaki dari tanah Palestina. Segala akan dikorbankan demi segala yang menyangkut tim dan kebanggaan; ya, sepakbola adalah agama di sini.

Sejatinya, Anda tak perlu deretan bukti di atas. Beberapa saat sebelum para pahlawan mereka berlaga, para fans menyanyikan hymne tak biasa. Diawali dengan seruan panjang sang dirigen yang menggetarkan hati, teriakan mereka “Kalian untuk kami, kalian terlahir dari kami” telah menggema di tanah demi tanah benua Eropa.

Ya, Athletic Bilbao bukanlah sekadar klub sepakbola, melainkan identitas yang harus dijaga sampai mati. Dan meski waktu bergulir, singa-singa Athletic –entah itu fans, pemain, atau direksi klub-- akan terus mempertahankan teritori mereka. Dari klub lawan, dari kejahatan uang, dan dari sekumpulan mertzenarioak. Nenek moyang mereka, sejak titik awal permulaan hidup tanah Basque, telah mengajarkan pepatah, “bumi hanyalah milik orang-orang berani”.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Profil Klub Liga Spanyol: Athletic Bilbao, Data & Fakta Klub Anak Kampung Asal Basque

0 komentar:

Post a Comment